INILAH.COM, Kupang- Pengakuan bahwa Indonesia negeri nan kaya raya bukan hanya sebuah kebanggaan semu. Di bidang kaya keanekaragaman hayati RI bahkan menempati urutan kedua setelah Brasil.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memasukkan Indonesia dalam 10 negara kaya keanekaragaman hayati, bahkan menempati urutan kedua setelah Brasil.
Hal itu diungkapkan Prof DR Mangadas Lumban Gaol MSi, ketika dikukuhkan menjadi guru besar bidang ekologi tumbuhan pada Fakultas Sains dan Teknik Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang, pada 12 Februari lalu.
Karena kaya akan aneka ragam hayati itulah, para ahli perlindungan alam dunia memberikan julukan sebagai megabiodiversity country atau bahkan sebagai ecological hotspot dunia.
Lumban Gaol memaparkan, luas daratan Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan dunia, tetapi memiliki sekitar 17 persen total spesies di bumi. Terdapat lebih dari 38.000 spesies tumbuhan yang menempatkan pada urusan kelima dunia dan sekitar 55 persen endemik, bahkan separuh kayu bernilai ekonomi penting –sekitar 350 spesies– terdapat di negeri ini.
Namun, kekayaan yang dimiliki ini, katanya, kini sedang dalam ancaman bahkan kepunahan, terutama disebabkan oleh tekanan penduduk.
“Pertumbuhan penduduk menyebabkan semakin banyak lahan dikonversi ke peruntukan lain, sehingga banyak spesies kehilangan habitat dan perusakan lingkungan,” kata guru besar bidang MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) Undana yang pertama itu.
Dia juga mengungkapkan, laju perusakan hutan di Indonesia sangat tinggi, mencapai 3,8 juta hektar per tahun atau 7,2 hektar per menit.
Lumban Gaol mengutip survei yang dilakukan World Research Institut, bahwa dari 130 juta hektare hutan di Indonesia sebelumnya, kini hanya tersisa 205, sementara 72% hutan asli sudah enyah, digantikan oleh perumahan, industri, pertanian, peternakan perkebunan dan sebagainya.
Populasi manusia yang sebagian besar hidup di pedesaan dan bergantung dari pertanian, disebutnya sebagai penyebab konversi (alih fungsi) habitat alami sangat besar yakni mencapai 44% dan mengancam begitu banyak spesies menuju kepunahan.
Bahkan, setiap tahun ada ratusan spesies di Indonesia hilang atau lebih dari satu spesies per hari, sebagian besar di antaranya adalah invertebrata yang belum dideskripsi secara detail.
Akibat perusakan alam tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara dalam satu dekade terakhir ini. Jika kehilangan hutan terus berlangsung, guru besar Undana ke-17 itu mengatakan, manusia akan semakin sulit bernafas akibat lebih banyak karbon dioksida di udara dan penipisan lapisan ozon, memicu ketidakpastian iklim, apakah musim hujan lebih lama atau musim panas lebih lama.
Dia mengatakan, kemerosotan lingkungan alam ini ditandai oleh hujan asam yang dipicu bahan pencemar produk industri. Hujan asam ini mencemari air, tanah dan membahayakan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. “Ini adalah permasalahan lingkungan global saat ini yang perlu mendapat perhatian,” katanya.
Pada saat yang sama, lahan yang seharusnya untuk pertanian agar menghasilkan pangan terus beralih fungsi. Karena itu, diperlukan sebuah kesadaran kritis, bahwa mempertahankan predikat sebagai mega biodiversity country atau “ecological hotspot” tidak sekadar untuk menjaga gengsi di mata internasional, tetapi karena ada kesadaran bahwa kemanusiaan di muka bumi sedang terancam.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memasukkan Indonesia dalam 10 negara kaya keanekaragaman hayati, bahkan menempati urutan kedua setelah Brasil.
Hal itu diungkapkan Prof DR Mangadas Lumban Gaol MSi, ketika dikukuhkan menjadi guru besar bidang ekologi tumbuhan pada Fakultas Sains dan Teknik Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang, pada 12 Februari lalu.
Karena kaya akan aneka ragam hayati itulah, para ahli perlindungan alam dunia memberikan julukan sebagai megabiodiversity country atau bahkan sebagai ecological hotspot dunia.
Lumban Gaol memaparkan, luas daratan Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan dunia, tetapi memiliki sekitar 17 persen total spesies di bumi. Terdapat lebih dari 38.000 spesies tumbuhan yang menempatkan pada urusan kelima dunia dan sekitar 55 persen endemik, bahkan separuh kayu bernilai ekonomi penting –sekitar 350 spesies– terdapat di negeri ini.
Namun, kekayaan yang dimiliki ini, katanya, kini sedang dalam ancaman bahkan kepunahan, terutama disebabkan oleh tekanan penduduk.
“Pertumbuhan penduduk menyebabkan semakin banyak lahan dikonversi ke peruntukan lain, sehingga banyak spesies kehilangan habitat dan perusakan lingkungan,” kata guru besar bidang MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) Undana yang pertama itu.
Dia juga mengungkapkan, laju perusakan hutan di Indonesia sangat tinggi, mencapai 3,8 juta hektar per tahun atau 7,2 hektar per menit.
Lumban Gaol mengutip survei yang dilakukan World Research Institut, bahwa dari 130 juta hektare hutan di Indonesia sebelumnya, kini hanya tersisa 205, sementara 72% hutan asli sudah enyah, digantikan oleh perumahan, industri, pertanian, peternakan perkebunan dan sebagainya.
Populasi manusia yang sebagian besar hidup di pedesaan dan bergantung dari pertanian, disebutnya sebagai penyebab konversi (alih fungsi) habitat alami sangat besar yakni mencapai 44% dan mengancam begitu banyak spesies menuju kepunahan.
Bahkan, setiap tahun ada ratusan spesies di Indonesia hilang atau lebih dari satu spesies per hari, sebagian besar di antaranya adalah invertebrata yang belum dideskripsi secara detail.
Akibat perusakan alam tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara dalam satu dekade terakhir ini. Jika kehilangan hutan terus berlangsung, guru besar Undana ke-17 itu mengatakan, manusia akan semakin sulit bernafas akibat lebih banyak karbon dioksida di udara dan penipisan lapisan ozon, memicu ketidakpastian iklim, apakah musim hujan lebih lama atau musim panas lebih lama.
Dia mengatakan, kemerosotan lingkungan alam ini ditandai oleh hujan asam yang dipicu bahan pencemar produk industri. Hujan asam ini mencemari air, tanah dan membahayakan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. “Ini adalah permasalahan lingkungan global saat ini yang perlu mendapat perhatian,” katanya.
Pada saat yang sama, lahan yang seharusnya untuk pertanian agar menghasilkan pangan terus beralih fungsi. Karena itu, diperlukan sebuah kesadaran kritis, bahwa mempertahankan predikat sebagai mega biodiversity country atau “ecological hotspot” tidak sekadar untuk menjaga gengsi di mata internasional, tetapi karena ada kesadaran bahwa kemanusiaan di muka bumi sedang terancam.
0 comments:
Posting Komentar